FOLLOWERS...KU

Bahaya Zinah

Kamis, 31 Mei 2012

print this page
send email
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam bukunya “Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘an Ad Dawaa’ Asy Syafi” mengungkapkan tentang Bahaya Zina.
Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh zina merupakan bahaya yang tergolong besar, disamping juga bertentangan dengan aturan universal yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab (keturunan), menjaga kesucian dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal hal yang menimbulkan permusuhan serta perasaan benci diantara manusia, disebabkan pengrusakan terhadap kesucian istri, putri, saudara perempuan dan ibu mereka, yang ini semua jelas akan merusak tatanan kehidupan. Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya zina itu setingkat di bawah pembunuhan. Oleh karena itu, Allah menggandeng keduanya di dalam Al-Qur’an, juga Rasulullah SAW dalam keterangan hadits beliau.
Al Imam Ahmad berkata, “Aku tidak mengetahui sebuah dosa – setelah dosa membunuh jiwa – yang lebih
besar dari dosa zina.”
Dan Allah menegaskan pengharaman zina dalam firman-Nya:
“ Dan orang orang yang tidak menyembah Tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina kecuali orang orang yang bertaubat ” (QS. Al Furqan, 68 –7 ).
Dalam ayat tersebut, Allah menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan hukumannya
kekal dalam azab yang berat dan dilipat gandakan, selama pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan beramal shalih.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’: 32).
Di sini Allah SWT menjelaskan tentang kejinya zina, karena kata “fahisyah” maknanya adalah perbuatan keji atau kotor yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui kekejiannya oleh setiap orang yang berakal, bahkan oleh sebagian banyak binatang. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
kitab shahihnya, dari Amru bin Maimun Al Audi, ia berkata, “Aku pernah melihat – pada masa jahiliyah –
seekor kera jantan yang berzina dengan seekor kera betina, lalu datanglah kawanan kera mengerumuni
mereka berdua dan melempari keduanya sampai mati.”
Kemudian Allah Ta’ala juga memberitahukan bahwa zina adalah seburuk-buruk jalan, karena merupakan jalan kebinasaan, kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan azab di akhirat.
Dan karena menikahi bekas istri-istri ayah termasuk perbuatan yang sangat jelak sekali, sehingga Allah secara khusus memberikan “cela” tambahan bagi orang yang melakukannya.
Allah berfirman (setelah secara tegas melarang kaum muslimin untuk menikahi bekas istri-istri ayah
mereka, pent.):
“Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisa’: 22).
Allah juga mensyaratkan keberuntungan seorang hamba pada kemampuannya dalam menjaga kesuciannya, tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan menjaga kesucian.
Allah berfirman: “ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 1 – 7 ).
Dalam ayat-ayat ini ada tiga hal yang diungkapkan:
Pertama: bahwa orang yang tidak menjaga kemaluannya, tidak termasuk orang yang beruntung.
Kedua: dia termasuk orang yang tercela.
Ketiga: dia termasuk orang yang melampaui batas.
Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan, serta berhak mendapat predikat “melampaui batas”, dan jatuh pada tindakan yang membuatnya tercela. Padahal beratnya beban dalam menahan syahwat itu, lebih ringan ketimbang menanggung sebagian akibat yang disebutkan tadi. Selain itu pula, Allah telah menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah, tidak sabar dan tidak mampu mengendalikan diri saat mendapatkan kebahagiaan, demikian pula kesusahan. Bila mendapat kebahagiaan dia menjadi kikir, tak mau memberi, dan bila mendapat kesusahan, dia banyak mengeluh. Begitulah tabiat manusia, kecuali orang-orang yang memang dikecualikan dari hamba-hamba-Nya yang sukses, diantaranya adalah
mereka yang disebut di dalam firman-Nya:
“ Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Ma’arij: 29 – 31).
Oleh karenanya, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk memerintahkan orang-orang mu’min agar
menjaga pandangan dan kemaluan mereka, juga diberitahukan kepada mereka bahwa Allah SWT selalu
menyaksikan dan memperhatikan amal perbuatan mereka.
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19).
Dan karena ujung pangkal perbuatan zina yang keji ini tumbuh dari pandangan mata, maka Allah SWT lebih mendahulukan perintah memalingkan pandangan mata sebelum perintah menjaga kemaluan, karena banyak musibah besar yang berasal dari pandangan; seperti kobaran api yang besar berasal dari bunga api. Mulanya hanya pandangan, kemudian khayalan, kemudian langkah nyata, kemudian tindak kejahatan besar (zina).
Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia telah menyelamatkan agamanya: Al Lahazhat (pandangan mata), Al Khatharat (pikiran yang terlintas di hati), Al Lafazhat (ucapan), Al Khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan).
Dan seyogyanya, seorang hamba Allah menjadi penjaga empat pintu di atas dengan penuh siap siaga agar tidak kecolongan, sebab dari sana musuh menyusup, menyerang dan merasuk kedalam dirinya dan merusak segalanya.
EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT MENUJU MANUSIA
Umumnya maksiat menyerang seorang hamba, melalui empat pintu yang telah disebutkan di atas.
Sekarang, marilah kita ikuti pembahasan tentang empat pintu tersebut, di bawah ini:
1- Al Lahazhat (Pandangan Mata).
Lirikan adalah pelopor, atau “utusan” syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan modal dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barang siapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kebinasaan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kamu ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan (pertama)
itu boleh, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya.” (HR. At Turmudzi, hadits hasan gharib).
Di dalam musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah SAW , beliau bersabda:
“Pandangan itu adalah anak panah beracun milik iblis. Maka barang siapa yang memalingkan
pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah semata, maka Allah akan memberikan di hatinya kenikmatan hingga hari kiamat.” (HR. Ahmad).
Beliau juga bersabda:
“Palingkanlah pandangan kalian, dan jagalah kemaluan kalian.” (HR. At Thabrani dalam Al mu’jam al
kabir).
Dalam hadits lain beliau bersabda:
“Janganlah kalian duduk-duduk di (pinggir) jalan” , mereka berkata, “ ya Rasulallah, tempat-tempat duduk kami pasti di pinggir jalan” , beliau bersabda, “ Jika kalian memang harus melakukannya, maka berikan hak jalan” , mereka bertanya, “ Apa hak jalan itu? beliau menjawab, “Memalingkan pandangan (dari hal-hal yang dilarang Allah, pent.), menyingkirkan gangguan, dan menjawab salam.” (HR. Muslim).
Pandangan adalah pangkal petaka yang menimpa manusia. Sebab, pandangan akan melahirkan lintasan
dalam hati, kemudian lintasan akan melahirkan pikiran, dan pikiran akan melahirkan syahwat, dan syahwat membangkitkan keinginan, kemudian keinginan itu menjadi kuat, dan berubah menjadi tekad yang bulat. Akhirnya apa yang tadinya melintas dalam pikiran menjadi kenyataan, dan itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang menghalanginya.
Oleh karena itu, dikatakan oleh sebagian ahli hikmah bahwa “bersabar dalam menahan pandangan mata
(bebannya) lebih ringan dibanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya.”
2- Al Khatharat (Pikiran Yang Terlintas Di Hati).
Adapun “Al Khatharat” (pikiran yang terlintas di hati) maka urusannya lebih rumit. Di sinilah tempat
bermulanya aktifitas, yang baik ataupun buruk. Dari sinilah lahirnya keinginan (untuk melakukan sesuatu)
yang akhirnya berubah menjadi tekad yang bulat. Maka siapa yang mampu mengendalikan pikiranpikiran
yang melintas di hatinya, niscaya dia akan mampu mengendalikan diri dan menundukkan hawa
nafsunya. Dan orang yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikirannya, maka hawa nafsunya yang berbalik menguasainya. Dan barang siapa yang menganggap remeh pikiran-pikiran yang melintas di hatinya, maka ia akan diseret menuju diseret menuju kebinasaan secara paksa.
“ Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila ia mendatanginya maka ia tidak mendapatkannya walau sedikitpun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisi-Nya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amalnya dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An Nur: 39).
Orang yang paling nista cita-citanya dan paling hina jiwanya adalah orang yang merasa puas dengan angan-angan semu. Dia genggam angan-angan itu untuk dirinya dan dia pun merasa bangga dan senang dengannya. Padahal demi Allah, angan-angan itu adalah modal orang-orang yang pailit, dan barang dagangan para pengangguran serta merupakan makanan pokok jiwa yang hampa, yang bisa merasa puas dengan bayangan dalam hayalan, dan angan-angan palsu.
Perasaan tenang dan puas dengan kondisi semacam ini dan berusaha untuk memperolehnya, menunjukkan kerendahan dan kedinaan jiwa seseorang, sebab kemuliaan jiwa seseorang, kebersihan, kesucian dan ketinggiannya dicapai, tidak lain adalah dengan cara menyingkirkan setiap khayalan yang jauh dari realita, dan dia tidak rela bila hal-hal tersebut sampai melintas di benaknya, serta dia juga tidak sudi hal itu terjadi pada dirinya.
Kemudian “khatharat” pikiran yang melintas di hati itu terbagi banyak macam, namun pada pokoknya ada
empat:
1- Pikiran yang mengarah untuk mencari keuntungan dunia / materi.
2- Pikiran yang mengarah untuk mencegah kerugian dunia/ materi.
3- Pikiran yang mengarah untuk mencari kemaslahatan akhirat.
4- Pikiran yang mengarah untuk mencegah kerugian akhirat.
Semestinya, seorang hamba menjadikan pikiran-pikiran dan keinginannya hanya berkisar pada empat
macam di atas. Bila semua bagian itu ada padanya, maka selagi mungkin dipadukan, hendaklah dia tidak
mengabaikannya untuk yang lain. Kalau ternyata pikiran pikiran yang datang itu banyak dan bertumpang tindih, maka hendaklah dia mendahulukan yang lebih penting, yang dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan untuk itu.
Tinggallah sekarang dua bagian lagi, yaitu:
Pertama: yang penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Kedua: yang tidak penting, namun dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Dua bagian ini sama-sama mempunyai alasan untuk didahulukan. Di sinilah lahir sikap ragu dan bimbang
untuk memilih. Bila dia dahulukan yang penting, dia khawatir akan kehilangan kesempatan yang lain. Dan bila dia mendahulukan yang lain, dia akan kehilangan sesuatu yang penting. Begitulah terkadang seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mungkin dipadukan menjadi satu, yang mana salah satunya tidak dapat dicapai kecuali dengan mengorbankan yang lain.
Di sinilah akal, bijak dan pengetahuan itu berperan.
Di sini akan diketahui siapa orang yang tinggi, siapa orang yang sukses, dan siapa orang yang merugi.
Kebanyakan orang yang mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan anda lihat dia mengorbankan
sesuatu yang penting dan tidak khawatir kehilangan kesempatan untuk itu, demi melakukan sesuatu yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Dan anda tidak akan menemukan seorangpun yang selamat (dan terlepas) dari hal seperti itu. Hanya saja ada yang jarang dan ada pula yang sering menghadapinya.
Dan sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai penentu pilihan dalam masalah ini adalah sebuah kaidah
agung dan mendasar yang merupakan poros berputarnya aturan-aturan syar’iyyah dan kauniyah, dan juga pada kaidah inilah dikembalikan segala urusan. Kaidah itu adalah: mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar dan lebih tinggi dalam dua pilihan yang ada – walaupun harus mengorbankan kemaslahatan yang lebih kecil – kemudian kaidah itu pula yang menyatakan bahwa kita memilih kemudharatan yang lebih ringan untuk mencegah terjadinya mudharat yang lebih besar.
Jadi, sebuah kemaslahatan akan dikorbankan dengan tujuan mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar, begitu pula sebuah kemudharatan akan dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar.
Pikiran-pikiran serta ide-ide orang yang berakal itu tidak akan keluar dari apa yang telah kita jelaskan di atas. Dan itu misi syariat atau aturan yang dibawa.
Kemaslahatan dunia dan akhirat selalu didasarkan pada hal-hal tersebut. Dan pikiran-pikiran serta ide-ide yang paling tinggi, paling mulia dan paling bermanfaat ialah yang bertujuan untuk Allah SWT dan kebahagiaan di alam akhirat nanti.
Kemudian pikiran yang bertujuan adalah untuk Allah ini bermacam macam:

Pertama: memikirkan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan dan berusaha untuk memahami
maksud Allah dari ayat-ayat tersebut; dan memang untuk itulah Allah menurunkannya;
tidak hanya sekedar untuk dibaca saja, tetapi membaca hanya sarana saja.
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an untuk diamalkan, maka
jadikanlah membaca Al Qur’an itu (sarana) untuk beramal.”

Kedua: memikirkan dan merenungi ayat- ayat atau tanda-tanda kebesaran-Nya yang dapat dilihat
langsung; dan menjadikannya sebagai bukti akan asma` Allah, sifat-sifat, hikmah, kebaikan dan kemurahan-Nya. Dan Allah telah menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya, memikirkan dan memahaminya; Allah menegur dan mencela orang yang melalaikannya.
Ketiga: memikirkan ni’mat, kebaikan dan berbagai karunia yang Dia limpahkan kepada seluruh makhluk-Nya, dan merenungi keluasan rahmat, ampunan dan kasih sayang-Nya.
Tiga hal di atas dapat membangkitkan –di hati seorang hamba– ma’rifatullah (mengenal Allah), kecintaan serta perasaan cemas dan harap kepada-Nya. Dan bila tiga hal tadi senantiasa dilakukan, disertai dengan dzikir kepada Allah, maka hati seorang hamba akan diwarnai secara sempurna dengan ma’rifah dan cinta kepada-Nya.

Keempat: memikirkan aib, cela dan kelemahan yang ada pada jiwa dan amal perbuatan. Hal ini memberikan faedah yang sangat besar, pintu utama setiap kebajikan, ia berdampak mematahkan nafsu amarah (hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukkan). Bila nafsu amarah telah patah, tentu nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang)lah yang akan hidup, bangkit dan menjadi penentu segala keputusan. Selanjutnya hati menjadi hidup dan kebijakannya didengar diseluruh penjuru, dia perintahkan para ajudan dan prajuritnya untuk melakukan hal yang membawa kemaslahatanya.

Kelima: memikirkan kewajiban terhadap waktu sekaligus bagaimana cara menggunakannya, serta menumpahkan seluruh perhatian guna pemanfaatan waktu. Seorang yang arif, adalah anak zaman, karena dia yakin, bila waktunya disia-siakan, berarti dia telah menyia-nyiakan seluruh kemaslahatannya. Sebab, seluruh kemaslahatan bertumpu pada waktu, bila diabaikan, dia tidak akan terulang kembali untuk selamanya.
Al Imam Asy Syafi’i berkata, “aku pernah berteman dengan orang-orang sufi dan aku tidak mendapatkan
manfaat apa-apa dari mereka kecuali dua kalimat saja:

Pertama:

“Waktu itu laksana pedang, bila engkau tidak (menggunakannya untuk) menebas, dialah yang akan
menebas (leher)mu.”
Kedua:
“Dan dirimu, bila tidak engkau sibukkan dengan kebenaran, maka dialah yang akan menyibukkanmu
dengan kebathilan.”
Waktu yang dimiliki manusia, adalah umurnya yang hakiki. Waktu juga modal utama untuk kehidupan nan
abadi dalam kenikmatan yang kekal, di lain sisi juga modal untuk kehidupan yang sengsara dalam azab yang pedih. Waktu berlalu lebih cepat dari pada awan berarak.
Maka, barang siapa yang berhasil menjadikan waktunya untuk Allah dan bersama Allah, itulah kehidupan dan umurnya yang sejati. Dan waktu yang tidak digunakan untuk Allah tidaklah dihitung sebagai bagian dari kehidupannya, walaupun dia hidup tapi kehidupannya laksana kehidupan binatang ternak. Bila seseorang menghabiskan waktunya penuh dengan kelalaian, syahwat dan angan-angan hampa atau waktunya yang paling banyak digunakan untuk tidur dan leha-leha, maka bagi orang semacam ini “mati” lebih baik dari pada hidup.
Bila seorang hamba –yang sedang melakukan shalat– tidak akan mendapatkan pahala shalatnya selain pada bagian shalat yang dia lakukan dengan khusyu`, begitu juga dengan umur, yang sesungguhnya adalah waktu yang dia habiskan untuk Allah dan bersama Allah.
Pikiran-pikiran yang tidak termasuk salah satu bagian di atas, dapat dikatagorikan sebagai was-was
syaithaniyah (bisikan syaitan), angan-angan kosong atau halusinasi bohong, seperti pikiran-pikiran orang yang tidak waras, baik karena mabuk atau terbius, kesurupan dan lain sebagainya.
Allah telah memasang dua macam nafsu pada diri manusia; nafsu amarah dan nafsu muthmainnah, yang kedua-duanya saling bertolak-belakang. Segala sesuatu yang terasa ringan oleh yang satu, maka akan terasa berat oleh yang lain. Apa yang dirasa nikmat oleh yang satu, maka akan dirasa siksa oleh yang lain. Tak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu amarah melebihi perbuatan yang dilakukan karena Allah dan mendahulukan keridhaan- Nya dari pada hawa nafsu, padahal tidak ada amal yang lebih bermanfaat baginya dari amal tersebut. Begitu pula, tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu muthmainnah dari perbuatan yang bukan untuk Allah dan mengikuti kehendak hawa nafsu. Padahal tidak ada amal yang lebih berbahaya baginya dari amal tersebut.
Dalam hal ini, malaikat itu berada disamping kanan hati manusia, sementara syaitan disamping kirinya. Dan perseteruan antara keduanya tidak akan pernah berhenti hingga waktu yang ditentukan (oleh Allah) di dunia ini.

Seluruh bentuk kebatilan akan berpihak kepada syaitan dan nafsu amarah, sementara semua macam kebenaran akan berpihak pada malaikat dan nafsu muthmainnah.

Dalam perseteruan ini kalah dan menang datang silihberganti. Dan kemenangan ada bersama kesabaran.
Maka barang siapa yang benar-benar bersabar, berusaha keras dan bertakwa kepada Allah, niscaya
baginya balasan yang baik, di dunia dan di akhirat nanti.
Dan Allah telah menetapkan sebuah ketetapan yang tidak dapat dirubah selamanya, bahwa balasan baik untuk ketakwaan, dan pahala untuk mereka yang bertakwa.
Hati laksana papan ukiran, dan pikiran-pikiran itu bagaikan tulisan yang diukir di atasnya. Maka, sangat
tidak pantas seorang yang berakal mengukir papannya hanya dengan dusta, tipu daya, angan-angan dan fatamorgana yang tidak ada realitanya, hikmah, ilmu dan hidayah tak mungkin dapat dipahatkan bersama ornament tersebut. Apabila hikmah, ilmu dan hidayah ingin dipahatkan pada papan hatinya, maka tak ubahnya seperti penulisan ilmu yang bermanfaat di sebuah lembaran yang sudah dipenuhi tulisan yang tidak berguna. Bila hati tidak dikosongkan dari pikiran-pikiran kotor, maka pikiranpikiran
positif yang bermanfaat tidak akan dapat menetap di dalamnya, karena memang, dia tidak dapat menghuni kecuali tempat yang kosong.
3 – Al Lafazhat (Ungkapan Kata-Kata).
Adapun tentang Al Lafazhat (ungkapan kata-kata), maka cara menjaganya adalah dengan mencegah
keluarnya kata-kata atau ucapan yang tidak bermanfaat dari lidahnya. Dengan cara tidak berbicara kecuali dalam hal yang diharapkan bisa memberikan keuntungan dan tambahan agama. Bila ingin berbicara, hendaklah seseorang melihat dulu, apakah ada manfaat dan keuntungannya atau tidak? Bila tidak menguntungkan, tahan lidah agar tidak berbicara, dan bila diperkirakan ada keuntungannya, lihat lagi, apakah ada kata-kata yang lebih menguntungkan lagi dari kata-kata tersebut? Bila memang ada, maka janganlah sia-siakan.
Bila anda ingin mengetahui kondisi hati seseorang, maka lihatlah ucapan lidahnya, suka ataupun tidak suka, ucapan itu akan menjelaskan kepada anda apa yang ada dalam hati seseorang.
Yahya bin Mu’adz berkata, “hati itu laksana panci yang sedang menggodok isinya, dan lidah bagaikan
gayungnya, maka perhatikanlah seseorang saat dia berbicara, sebab lidah orang itu sedang menciduk
untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis atau asam, tawar atau asin, dan sebagainya. Ia menjelaskan kepada anda bagaimana “rasa” hatinya, melalui ucapan lidahnya, artinya: sebagaimana anda bisa mengetahui rasa apa yang ada dalam panci itu dengan cara mencicipi dengan lidah, maka begitu pula anda bisa mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang dari lidahnya, anda dapat merasakan apa yang ada dalam hatinya dengan lidahnya, sebagaimana anda juga mencicipi apa yang ada di dalam panci itu dengan lidah anda.
Dalam hadits Anas t yang marfu’, Nabi r bersabda:
“Tidak akan istiqamah iman seorang hamba sehingga hatinya beristiqamah (lebih dahulu), dan hati
dia tidak akan istiqamah sehingga lidahnya istiqamah (lebih dahulu).”
Nabi Muhammad saw pernah ditanya tentang hal yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan”. (HR. Turmudzi, dan ia berkata, hadits ini hasan shahih).
At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Nabi Muhammad saw, bahwa beliau bersabda:
“ Termasuk (salah satu tanda) kebaikan Islam seseorang yaitu dia meninggalkan hal-hal yang tidak
berguna baginya.”
4- Al Khuthuwat (Langkah Nyata Untuk Sebuah Perbuatan).
Adapun tentang Al Khuthuwat maka hal ini bisa dicegah dengan cara seorang hamba tidak menggerakkan
kakinya kecuali untuk perbuatan yang bisa diharapkan mendatangkan pahala dari Allah. Bila ternyata langkah kakinya itu tidak akan menambah pahala, maka menyurutkan langkah tersebut tentu lebih baik.
Dan sebenarnya bisa saja seseorang memperoleh pahala dari setiap perbuatan mubah (yang boleh
dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan, pent.) yang dilakukannya dengan cara berniat untuk Allah . Dengan demikian maka seluruh langkahnya akan bernilai ibadah.
Tergelincirnya seorang hamba dari perbuatan salah itu ada dua macam: tergelincirnya kaki dan tergelincirnya lidah. Oleh karena itu kedua macam ini disebutkan berurutan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
“ Dan hamba-hamba Ar Rahman, yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan.” (QS. Al Furqan: 63).
Di sisi lain, Allah menjelaskan bahwa sifat mereka itu adalah istiqamah dalam ucapan dan langkah-langkah
mereka, sebagaimana Allah juga mensejajarkan antara pandangan dan lintasan pikiran, dalam firmanNya:
“ Allah mengetahui khianat mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19).
Semua hal yang kami sebutkan di atas adalah sebagai pendahuluan bagi penjelasan akan haramnya zina, dan kewajiban menjaga kemaluan.
Rasulullah saw bersabda:
Yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka ialah lidah dan kemaluan.” (HR. Ahmad dan At
Turmudzi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam silsilah hadits shahih).
Dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidak halal darah seorang muslim (ditumpahkan) kecuali sebab tiga hal: orang yang (pernah menikah)
melakukan zina, dibunuh (qishash) karena membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta meninggalkan jamaah.”
Dalam hadits ini ada penyetaraan antara zina dengan kufur dan membunuh jiwa, persis seperti yang terdapat dalam ayat pada surat Al Furqan, juga seperti yang terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud ra.

PENYETARAAN ZINA, KUFUR DAN MEMBUNUH JIWA

Dalam hadits di atas Nabi saw menyebut hal yang paling banyak terjadi secara berurutan. perbuatan zina itu lebih sering terjadi dibanding dengan pembunuhan, dan pembunuhan lebih sering terjadi dibanding dengan riddah (keluar dari agama Islam). Juga urutan diatas berdasarkan dosa besar, kemudian dosa yang lebih besar dan seterusnya. Dan kerusakan yang ditimbulkan oleh zina sungguh bertolak belakang dengan kemaslahatan dalam kehidupan.
Sebab, bila seorang wanita melakukan zina berarti ia telah membuat aib keluarga, suami dan kerabatnya serta mencoreng wajah mereka di hadapan orang banyak. Bila dia sampai hamil kemudian membunuh anaknya, berarti dia telah menggabungkan perbuatan zina dengan pembunuhan, dan jika setelah hamil ia tetap hidup bersama suaminya, berarti dia telah memasukkan pada keluarga si suami dan keluarga si wanita sendiri orang lain yang bukan anggota keluarga mereka. Dan si anak yang tak sah tersebut mungkin mendapat warisan yang bukan haknya, ia melihat aurat dan berkhalwat dengan (ibunya) wanita yang bukan mahramnya, bernasab kepada orang yang bukan bapaknya, Dan masih banyak lagi kerusakan-kerusakan lain yang ditimbulkan oleh zina. Jika yang berzina itu adalah seorang pria, maka hal
ini –selain hal yang di atas- juga akan menyebabkan simpang siurnya hubungan nasab, kemudian merusak kehormatan wanita yang terjaga dan menjadikan hidupnya hancur dan binasa
Jadi, di belakang perbuatan keji ini (zina) terdapat kerusakan dunia dan agama sekaligus. Sungguh betapa banyak pelanggaran terhadap larangan-larangan (pelecehan terhadap kehormatan), penyia-nyiaan hak orang dan penganiayan yang ada di balik perbuatan zina.
Diantara dampak yang ditimbulkan oleh zina adalah bahwa zina dapat mendatangkan kefakiran, memperpendek umur dan membuat wajah pelakunya suram serta menimbulkan kebencian orang. Termasuk di antara dampaknya pula, bahwa zina dapat memporak-porandakan hati, membuatnya sakit kalau tidak sampai mematikannya, juga mendatangkan perasaan gundah, gelisah dan takut, serta menjauhkan pelakunya dari malaikat dan mendekatkannya kepada setan. Tak ada bahaya –setelah bahaya perbuatan membunuh- yang lebih besar daripada bahaya zina. Oleh karenanya, untuk menghukum pelaku zina Allah mensyariatkan hukuman bunuh (rajam) dengan cara yang mengerikan. Bila ada seseorang yang mendengar kabar bahwa isterinya dibunuh orang, tentu kabarnya lebih ringan dibanding dia mendengar bahwa isterinya berzina.
Sa’ad bin Ubadah t berkata, “Sekiranya aku melihat seorang pria berzina dengan isteriku, tentu aku akan
memenggal lehernya dengan pedang tanpa pikir panjang lagi.” Maka sampai perkataan ini kepada Rasulullah saw, lalu beliau bersabda:
“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, sungguh aku ini lebih cemburu dari dia, dan Alah lebih cemburu dari aku, dan oleh karena betapa agungnya kecemburuan Allah, maka Dia haramkan segala perbuatan keji, baik yang lakhir maupun yang batin.” (Muttafaq alaih).
Dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi saw.
“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan sesungguhnya seorang mu’min itu juga cemburu. Dan
kecemburuan Allah itu akan timbul bila seorang hamba melakukan apa yang diharamkan.” .(HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi saw :
“Tak ada seorangpun yang cemburu melebihi Allah, oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan perbuatan keji, yang lakhir maupun yang batin. Tak ada seorangpun yang lebih senang menerima alasan
daripada Allah, oleh karena itu Dia mengutus para Rasul untuk memberikan kabar gembira dan peringatan. Tak ada satupun yang lebih senang dipuji melebihi Allah, oleh karena itu Dia memuji diri-Nya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga dalam kitab Ash-shahihain, diriwayatkan khutbah Nabi SAW di saat shalat gerhana matahari, beliau
bersabda:


“Hai ummat Muhammad, demi Allah, tak ada satupun yang lebih pencemburu dari Allah ketika ada
seorang hamba-Nya yang laki-laki atau perempuan berbuat zina. Hai ummat Muhammad, demi Allah,
sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak
menangis.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “ Ya Allah, bukankah aku
sudah sampaikan?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Disebutkannya perbuatan dosa besar ini secara khusus setelah shalat gerhana matahari mengandung
isyarat rahasia yang menakjubkan; dan semaraknya fenomena zina merupakan tanda rusaknya tatanan alam, dan itu semua adalah salah satu tanda kiamat; seperti yang disebutkan dalam As-Shahihain, dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, “aku akan menceritakan kepada kalian sebuah hadits yang tidak akan ada orang yang akan menceritakannya kepada kalian setelah aku. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Di antara tanda-tanda kiamat bila ilmu (syar’i) menjadi sedikit (kurang), dan kebodohan menggejala
serta zina menyebar (di mana-mana), jumlah pria sedikit dan jumlah wanita banyak sehingga seorang laki-laki mengayomi lima puluh orang wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Salah satu sunnatullah (hukum alam) yang diberlakukan pada makhluk-Nya, yaitu ketika zina
semarak di mana-mana, Allah akan murka dan kemurkaannya sangat keras, maka pasti kemurkaan itu
akan berdampak pada bumi ini dalam bentuk azab dan musibah yang diturunkan.

Abdullah bin Mas’ud t berkata, “Tidaklah riba dan zina merajalela di suatu negri, melainkan Allah memaklumkan untuk dihancurkan.” Seorang pendeta bani Israil pernah melihat anaknya sedang mengerling seorang gadis, lalu dia berkata, “Pelan-pelan, wahai anakku!” kemudian sang ayah itu
pingsan di atas tempat tidurnya lalu meninggal, dan isterinya keguguran dan dikatakan kepadanya,“Beginikah caranya engkau marah untuk-Ku (melihat perzinahan hanya mengatakan, “pelan-pelan”)? Sungguh, keturunanmu tidak ada yang baik selamanya.”
HUKUMAN ZINA MEMILIKI TIGA KEKHUSUSAN
Allah swt mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan dengan hukuman-hukuman lainnya
dengan tiga hal :

Pertama: hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan.
Dalam
hukuman zina yang ringan saja, Allah menggabungkan antara hukuman terhadap
fisik dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan dari
negerinya selama satu tahun.
Kedua: Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk merasa kasihan terhadap pelaku zina sehingga mencegah mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para pezina. Sebab, Allah mansyari’atkan hukuman tersebut didasarkan atas kasih sayang dan rahmat-Nya kepada mereka. Allah sangat sayang kepada kalian, namun kasih sayang tersebut tidaklah mencegah Allah untuk memerintahkan memberlakukan hukuman ini. Oleh karenanya janganlah kasih sayang yang ada di hati kalian menghalangi kalian untuk melaksanakan perintah Allah.
Hal ini –walaupun sebenarnya juga berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud) yang disyari’atkan namun disebutkan dalam hukuman zina secara khusus, karena memang sangat penting untuk disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai rasa marah dan sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau orang yang menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih kasihan pada pezina ketimbang para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan hal itu. Oleh karena itu Allah melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan mereka itu membuat
tidak ditegakkannya hukuman Allah .
Mengapa rasa kasihan pada mereka itu timbul?
Penyebabnya adalah: karena perbuatan zina mungkin terjadi pada orang golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam jiwa manusia itu terdapat dorongan yang kuat untuk melakukannya dan orang yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling banyak menjadi penyebabnya ialah cinta; sementara tabiat hati manusia merasa kasihan terhadap orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak di antara mereka yang siap memberikan bantuan kepada mereka, walaupun sebenarnya bentuk percintaan itu termasuk yang diharamkan. Dan hal ini tidak diperselisihkan lagi. Dan diakui oleh mayoritas manusia yang cara berfikir mereka tidak jauh berbeda dengan binatang ternak, seperti kisah
cinta yang sering diceritakan para jongos dan budak wanita.
Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina) kebanyakan terjadi atas dasar suka dan rela dari kedua belah pihak,bukan dengan pemaksaan, penganiayaan dan pemerkosaan yang membuat jiwa orang-orang geram.
Dalam hal ini, syahwat banyak berpengaruh, sehinga timbullah perasaan kasihan yang mungkin akan
menghambat ditegakkannya hukuman Allah ini semua timbul dari iman yang lemah. Kesempurnaan iman itu dicapai dengan adanya kekuatan yang dengan itu perinta Allah dapat ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang) terhadap orang yang dijatuhi hukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Allah dalam perintah dan rahmat-Nya.

Ketiga: Allah memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk ataupu rajam,) hendaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang mu’min, bukan di tempat yang sepi
sehingga tidak ada orang yang dapat menyaksikannya. Hal ini dilakukan agar hal tersebut lebih efektif untuk tujuan “zajr” (membuat jera pelaku dan membuat takut orang lain melakukannya). Hukuman bagi pezina yang “muhshan” (pernah menikah) diambil dari hukuman Allah terhadap kaum Nabi Luth u yang dilempar dengan batu. Karena perbuatan zina dan liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth as) adalah
sama-sama perbuatan fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang
bertentangan dengan hikmah Allah dalam penciptaan alam semesta.
Namun setelah diteliti, yang lebih tepat untuk dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa bila orang
tersebut bertaubat dan kembali kepada Allah, kemudian mendapatkan karunia taubat yang nasuha serta amal yang shalih, lalu kondisinya di masa tua lebih baik dari kondisi di masa kecilnya, lalu merubah perbuatan-parbuatan jeleknya dengan berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah, juga menjaga pandangan matanya, menjaga kemaluannya dari yang haram dan benar-banar jujur kepada Allah dalam amalannya, maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan termasuk penduduk surga. Bila taubat itu –kita ketahui dapat menghapus segala macam dosa, sampai dosa syirik kepada Allah, membunuh para Nabi dan para wali Allah, atau sihir, kufur dan lain sebagainya, maka kita tidak boleh membatasi penghapusan terhadap dosa yang satu ini, padahal, dengan keadilan dan karunia Yang Maha Kuasa, hikmah Allah menetapkan bahwa:
“Orang yang bertaubat dari dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa” (HR. Ibnu Majah).
Dan Allah sendiri telah memberikan jaminan bahwa barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan syirik,
pembunuhan jiwa dan zina, Allah akan mengganti perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan hukum yang umum mencakup setiap orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa.
Allah berfirman:
“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang aniaya terhadap diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni seluruh dosa, sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Pengasih.” (QS. Az-Zumar: 53).
PARA PELAKU MAKSIAT DIKHAWATIRKAN AKAN MATI DALAM SU’UL KHATIMAH
Bila anda perhatikan kondisi kebanyakan orang saat sakaratul maut menjemput, anda akan melihat bahwa mereka terhalangi untuk mendapatkan husnul khatimah, sebagai hukuman akibat perbuatan-perbuatan jelek mereka.
Al-hafizh Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman Al Isybili berkata(1), “ketahuilah bahwa
su’ul khatimah itu (semoga Allah menjauhkan kita darinya) mempunyai beberapa penyebab. Ada jalan-jalan dan pintu-pintu yang menghantarkan kepadanya.
Penyebab, pintu dan jalan yang paling besar adalah larut dengan urusan keduniaan, tidak perhatian dalam urusan akhirat dan berani maksiat kepada Allah. Bisa saja ada seseorang yang sudah terbiasa melakukan kesalahan atau maksiat tertentu, sehingga menguasai hatinya, akalnya tertawan oleh kebiasaan tersebut, pelita hatinya padam dan terbentuklah tabir yang menutupinya. Akibatnya,
teguran tidak lagi akan berguna, nasihat tidak lagi akan bermanfaat dan bisa saja kematian datang menjemput saat dia dalam keadaan demikian. Lalu datanglah panggilan kebaikan dari sebuah tempat yang jauh, namun dia tidak dapat memahami maksudnya. Dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh panggilan itu, sekalipun orang yang meneriakkan panggilan itu terus mengulangi dan
mengulanginya lagi”.
Diriwayatkan, bahwa ada seorang anak buah An Nashir (salah seorang pemimpin di masa Mamlukiyyah)
yang menjelang sakaratul maut, kemudian anaknya berkata, “ucapkanlah, laa Ilahaa Illallah!” orang itu
berucap, “An Nashir adalah tuanku.” Diulangi ucapan itu kepadanya, namun jawaban orang itu tetap sama. Tibatiba orang itu tidak sadarkan diri dan setelah dia siuman dia berucap lagi , “An Nashir adalah tuanku”. Begitulah terus menerus setiap kali dikatakan kepadanya ucapan,
“laa Ilaaha Illallah” dia malah berucap, “An Nashir adalah tuanku”. Kemudian ia berkata kepada anaknya , “Hai fulan, sesungguhnya An Nashir itu dapat mengenalmu hanya dengan pedang dan keberanianmu
membunuh (berperang)”. Kemudian dia meninggal dunia.
Abdul Haq berkata, “pernah dikatakan juga kepada orang lain (yang saya mengenalnya) ucapkanlah, laa
Ilaaha Illallah dia malah berucap, “ tolong rumah yang disana itu diperbaiki, dan kebun yang di sana dikerjakan…”
Abdul Haq juga berkata, “di antara riwayat dari Abu thakhir As Silafiy yang mana dia telah mengizinkan aku untuk meriwayatkannya, yaitu sebuah kisah dimana ada seorang pria yang sedang sakaratul maut, kemudian dikatakan kepadanya, ucapkanlan ‘laa Ilaaha Illallah’ namun dia malah mengatakan kata-kata dengan bahasa Persia yang artinya: sepuluh dengan sebelas (maksudnya, boleh berhutang sepuluh tapi bayarnya sebelas).
Dan pernah dikatakan pula pada orang lain, ucapkanlah laa Ilaaha Illallah dia malah mengatakan
“mana jalan ke pemandian manjab? Kata Abdul Haq, “jawaban yang diucapkannya itu
ada ceritanya. Suatu ketika pria tersebut berdiri di depan rumahnya. Rumah tersebut pintunya menyerupai pintu sebuah tempat pemandian, tiba-tiba di situ lewat wanita cantik dan bertanya, ‘mana jalan ke pemandian manjab ?
dia menjawab (sambil menunjuk ke pintu rumahnya), ini dia pemandian manjab itu! Maka, wanita itu pun masuk ke dalam rumahnya sampai kebelakang. Setelah dia sadar terjebak di rumah sang pria dan tahu bahwa dia sedang ditipu, dia pura-pura menampakkan rasa gembira dan suka cita karena pertemuannya dengan pria itu.
Kemudian wanita itu berkata, “sebaiknya (sebelum kita berkumpul) engkau harus mempersiapkan untuk kita apa-apa yang dapat membuat keindahan kehidupan kita sekaligus menyenangkan hati kita”. Dengan segera pria itu menjawab,’ sekarang juga aku akan membawakan untukmu semua yang kamu inginkan dan senangi”. Lalu dia pergi ke luar dan meninggalkan si wanita dalam rumah, dan tidak menguncinya. Kemudia ia mengambil barang yang bisa dibawa, lalu kembali ke rumah. Tapi sayang, si wanita telah keluar dan pergi. Sedikitpun wanita itu tidak mengambil apa-apa dari rumahnya. Pria itu akhirnya mabuk kepayang dan selalu ingat wanita itu tadi. Dia berjalan di lorong-lorong dan gang-gang sambil
mengatakan: Wahai tuhan, dimana wanita yang mengatakan suatu hari dalam kondisi letih, mana jalan ke pemandian munjab?
Suatu saat, waktu dia mengucapkan bait syair tadi, ada seorang wanita berkomentar dari jendela pintu
rumahnya:
Mengapa di saat sudah mendapatkannya tidak dengan segera,
engkau menutup rumah atau mengunci pintunya ?
Mendengar itu ia tambah mabuk kepayang. Begitulah terus kondisinya sehingga bait syair itu menjadi kata-kata terakhirnya saat meninggal dunia.”
Suatu malam, sufyan Ats- tsauri menangis sampai pagi. Di pagi itu ada yang bertanya kepadanya, “ adakah semua yang kau lakukan ini karena takut akan dosa ?” lalu sufyan mengambil segenggam tanah seraya berkata, “dosa lebih ringan dari segenggam tanah ini, aku menangis karena takut akan su’ul khatimah.”
Sungguh, ini adalah pemahaman yang cemerlang, seseorang khawatir dosa-dosanya akan membuatnya
terhina di kala meninggal dunia nanti, sehingga dia terhalang untuk memperoleh husnul khatimah.
Al Imam Ahmad pernah menyebutkan bahwa Abu Darda’ di saat sakaratul maut, dia pingsan tak sadarkan diri, kemudian dia siuman dan membaca:
“ Dan (begitulah) kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah
beriman kepadanya pada permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS. Al An’am: 110).
Dan oleh karena itu, para ulama salaf khawatir kalau dosa-dosa itu dapat menghalangi mereka untuk
memperoleh husnul khatimah.
Abdul Haq juga berkata, “ketahuilah bahwa su’ul khatimah itu (semoga kita dilindungi oleh Allah darinya)
tidak akan terjadi pada orang yang istiqamah dan shahih lahir dan batin, kenyataannya tidak pernah didengar dan diketahui (walillahilhamd).
Su`ul khatimah akan menimpa orang yang dasarnya sudah rusak atau senantiasa melakukan dosa besar dan mengerjakan kemaksiatan. Barangkali itu menjadi kebiasaannya, sehingga kematian datang menjemputnya sebelum sempat bertaubat, akhirnya dia meninggal sebelum memperbaiki dirinya, urat nadinya dicabut sebelum dia kembali kepada Allah, sehinga saat itu setan berhasil merenggut dan menyambarnya disaat yang genting tersebut. Na’udzu billah!”
Diriwayatkan bahwa di mesir dulu ada seseorang yang selalu pergi ke masjid untuk adzan dan melakukan
shalat. Wajahnya berwibawa dan penuh cahaya ibadah.
Suatu hari dia naik ke menara seperti biasanya untuk adzan, di bawah menara itu ada rumah seorang nashrani, dia melongok ke dalam rumah tersebut, dan melihat anak perempuan pemilik rumah itu, akhirnya ia tergoda dengannya, lalu dia tinggalkan adzan saat itu, dan turun untuk menemuinya, dan masuk ke dalam rumahnya. Anak perempuan itu bertanya, “ada apa, apa yang kamu inginkan?” Dia menjawab, “Aku menginginkan kamu. Dia bertanya lagi, “mengapa demikian?” dia menjawab,
“sungguh engkau telah menawan jiwaku dan menguasai seluruh relung hatiku.” Perempuan itu berkata, “Aku tidak akan pernah memenuhi keinginanmu selamanya.”
Pria tadi menjawab, “aku akan mengawinimu lebih dahulu.” Perempuan itu berkata, “engkau seorang
muslim, aku Nasrani, ayahku tidak akan mengawinkan aku denganmu. Lelaki itu berkata, “aku akan masuk
agama Nasrani!” Maka wanita itu berkata, “jika kamu lakukan itu, maka aku mau!” akhirnya lelaki itu resmi
masuk Nasrani agar dapat kawin dengannya. Diapun tinggal bersama mereka. Dan pada hari itu, dia naik ke atap rumah tersebut, kemudian jatuh dan langsung mati.
Kasihan, dia tidak berhasil mendapatkan perempuan tersebut dan dia kehilangan agamanya.
Diriwayatkan pula, ada seorang laki-laki yang senang kepada seseorang. Kesenangan dan kecintaannya
semakin kuat, sehingga menguasai hatinya. Bahkan, dia sampai jatuh sakit dan harus tidur istirahat karenanya. Sementara orang yang dicintai itu tidak mau menemuinya. Dia benar-benar tidak suka dan menjauh darinya. Sementara itu orang-orang berusaha mempertemukan keduanya, sehingga ia berjanji untuk menemuinya. Orang-orang datang membawa kabar tersebut, diapun gembira dan sangat bersuka-cita. Sesak di dadanya terasa hilang. İa menunggu waktu yang dijanjikan. Di saat itu, tiba-tiba datang orang yang akan mempertemukan keduanya, lalu menyampaikan, “dia sudah berangkat bersamaku sampai di tengah perjalanan, namun dia kembali lagi. Aku terus mendorong dan merayunya, tapi dia berkata, “orang itu ingat dan menyebut-nyebut aku dan dia pun bergembira dengan kedatanganku. Namun aku tidak akan masuk ke tempat yang meragukan. Aku tidak akan mempersembahkan diriku untuk tempat-tempat yang mencurigakan. Aku terus membujuknya, namun dia tidak mau dan terus pergi. Mendengar hal itu, orang yang sakit tadi langsung menjatuhkan diri dan kembali sakit dengan kondisi yang lebih parah lagi dari sebelumnya, tanda-tanda kematian sudah tampak di wajahnya.
Maka abdul Haq Al Isybili berkata kepadanya, “wahai fulan, takutlah engkau kepada Allah!! dia
menjawab, “semuanya sudah terjadi, akhirnya aku meninggalkannya. Dan belum lagi aku melewati pintu
rumahnya, aku medengar jerit suara kematiannya. Kita berlindung kepada Allah dari su’ul khatimah.
author; unknown
sumber : www.qiblati.com

Catatan group fb: Satu Hari, Satu Ayat Qur’an

www.eramuslim.com

0 komentar:

Posting Komentar